JA’FAR BIN ABU THALIB R.A

Dari keturunan Abdu Manaf ada lima orang yang sangat mirip dengan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam, sehingga karena kemiripan ini orang yang kurang tajam penglihatannya sering tidak bisa membeda¬kan antara Nabi

Shalallahu ‘alaihi wasalam dengan lima orang tersebut.

Mereka yang menyerupai Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam adalah Abu Sufyan bin al-Harits bin Abdul Muthallib, anak paman Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam dan saudara sesusuannya, Qutsam bin al-Abbas bin Abdul Muthallib, juga anak paman Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam, Sa’ib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim, kakeknya Imam Syafi’i, Hasan bin Ali cucu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam, dia adalah orang sangat mirip dengan NabiShalallahu ‘alaihi wasalam dari kelima orang lainnya dan yang terakhir adalah Ja’far bin Abu Thalib, saudara kandung Amirul Mu’minin Ali bin Abu Thalib.
Abu Thalib, meskipun kedudukannya sangat terhormat di kalangan Quraisy dan sangat terpandang di antara kaumnya, adalah sosok yang sederhana dan memiliki banyak keluarga. Keadaannya sangat memprihatinkan pada tahun kekeringan. Ketika itu, tidak ada hujan yang turun yang membasahi tanah kaum Quraisy sehingga tanaman mereka hancur dan hewan ternak mereka binasa. Keadaan itu memaksa banyak orang untuk memakan tulang belulang yang sudah membusuk.
Ketika itu, tidak ada orang dari kalangan bani Hasyim yang lebih baik keadaannya dari Muhammad bin Abdullah dan paman¬nya Abbas. Muhammad berkata kepada Abbas, “Wahai paman, sesungguhnya, saudaramu Abu Thalib memiliki keluarga yang banyak. Dan engkau melihat sendiri kekeringan dan kelaparan telah menimpa manusia. Maka, marilah kita pergi menemuinya untuk kita bawa sebagian keluarganya. Aku mengambil salah satu anaknya dan engkau mengambil anaknya yang lain kemudian kita tanggung keperluan mereka berdua.”

Abbas berkata, “Sungguh, engkau telah mengajak kepada kebaikan.”
Akhirnya, mereka berdua pergi dan setibanya di hadapan Abu Thalib mereka berkata, “Sesungguhnya, kami ingin meringan¬kan beban yang engkau pikul dalam menghidupi keluargamu agar keadaan sulit ini, yang juga menimpa orang lain, bisa teratasi.”
Abu Thalib menjawab, “Jika kalian berdua meninggalkan ‘Uqail untuk tetap berada di sisiku, maka berbuatlah seperti yang kalian kehendaki.
Maka, Muhammad mengambil Ali untuk dijadikan orang yang berada di bawah tanggungannya dan Abbas mengambil Ja’far untuk dibawa kepada keluarganya. Ali hidup bersama Muhammad sampai suatu masa di mana Allah mengangkat Muhammad sebagai seorang Rasul yang membawa agama yang hak dan Ali adalah orang yang pertama kali masuk Islam dari kalangan remaja. Sedangkan Ja’far hidup bersama pamannya Abbas sampai ia dewasa lalu masuk Islam dan akhir¬nya bisa hidup mandiri.
Ja’far bin Abu Thalib dan istrinya, Asma’ binti ‘Umais, masuk ke barisan cahaya iman di awal perjalanan dakwah. Mereka ber¬dua masuk Islam atas ajakan Abu Bakar ash-ShiddiqRodhiallahu ‘anhu sebelum Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam masuk ke rumah Arqam.

Pemuda keturunan Hasyim dan istrinya itu mendapatkan siksaan dari kaum Quraisy sebagaimana orang-orang yang pertama kali masuk Islam. Mereka berdua sabar atas siksaan itu karena mereka tahu bahwa jalan menuju surga penuh dengan duri dan kesulitan. Akan tetapi, yang membuat pikiran mereka berdua dan saudara-saudara mereka yang seiman berat dan keruh adalah sikap kafir Quraisy yang menghalangi mereka untuk meng¬hidupkan syiar Islam dan merasakan kelezatan beribadah. Mereka selalu mengintai dan mengawasi gerak-gerik mereka di setiap tempat, bahkan mereka sepertinya menghitung embusan napas orang-orang tersebut.
Ketika itulah Ja’far bin Abu Thalib meminta izin kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam untuk hijrah ke Habasyah bersama istri dan beberapa sahabat. Dengan penuh rasa sedih Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam mengizinkan mereka berhijrah. Padahal sebenarnya, sangat berat bagi Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam mengizinkan mereka untuk meninggalkan tempat tinggal mereka, tempat bermain mereka di waktu kecil, dan tempat mereka meng¬habiskan masa muda mereka tanpa ada dosa yang mereka lakukan melainkan hanya karena mereka mengucapkan “Tuhan kami adalah Allah.” Akan tetapi, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam tidak memiliki kekuatan yang dapat melindungi mereka dari penyiksaan yang dilakukan oleh kafir Quraisy.
Akhirnya, rombongan kaum Muhajirin pertama pergi menuju ke negeri Habasyah dipimpin oleh Ja’far bin Abu Thalib Rodhiallahu ‘anhu. Di sana, mereka berada di bawah perlindungan Najasyi, Raja Habasyah yang terkenal adil dan baik. Untuk pertama kalinya, sejak mereka masuk Islam, mereka bisa menikmati rasa aman dan merasakan nikmatnya beribadah tanpa ada yang meng-ganggu ibadah dan merusak kebahagiaan mereka.
Orang-orang Quraisy mengetahui kepergian rombongan umat Islam ini ke negeri Habasyah. Mereka juga mengetahui bahwa di bawah perlindungan (suaka) dari raja yang berkuasa di sana, rombongan tersebut mendapatkan rasa tenang dalam menjalan¬kan agama mereka dan rasa aman dalam memegang akidah mereka. Maka, di antara orang-orang Quraisy itu ada yang mengusulkan untuk membunuh mereka yang hijrah atau mengembalikan mereka ke Mekah dan selanjutnya dimasukkan ke dalam ruang tahanan yang besar.

Sekarang, mari kita simak penuturan Ummu Salamah Rodhiallahu ‘anha tentang peristiwa hijrah ini, seperti yang ia saksikan sendiri dengan matanya dan ia dengar dengan telinganya. IaRodhiallahu ‘anha berkata, “Ketika kami menetap di Habasyah, kami merasakan bahwa Habasyah adalah tempat yang baik untuk berlindung. Kami merasa aman dalam menjalankan ajaran agama kami. Kami bisa beribadah kepada Tuhan kami, Allah Subhanahu wa Ta’ala, tanpa merasa disakiti atau men¬dengar perkataan yang tidak kami sukai. Ketika berita tentang kami ini sampai kepada kaum Quraisy, mereka membuat sebuah rencana untuk kami. Mereka mengirim dua orang yang terkenal kuat dari kalangan mereka untuk menemui Najasyi.
Mereka berdua adalah Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah. Bersama kedua orang tersebut dikirim juga sejumlah barang dari tanah Hijaz yang disukai orang-orang Habasyah dalam jumlah yang banyak untuk diserahkan kepada Najasyi dan para pendetanya. Mereka berpesan kepada kedua orang itu untuk menyerahkan hadiah berupa barang yang dibawa kepada seluruh pendeta terlebih dahulu sebelum berbicara kepada raja Habasyah tentang kami.

Ketika dua orang utusan kaum Quraisy itu tiba di Habasyah, mereka langsung menemui para pendeta dan memberikan hadiah yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Tidak ada satu pun dari para pendeta yang mereka temui melainkan mereka berikan hadiah seraya berkata, ‘Sesungguhnya, ada beberapa orang dari kalangan orang-orang bodoh kaum kami yang tinggal di negeri raja Habasyah ini. Mereka telah keluar dari agama bapak-bapak dan kakek-kakek mereka. Mereka telah memecah belah persatuan kaum mereka. Jika kami menghadap raja dan membicarakan masalah mereka, berikanlah masukan kepadanya agar ia menyerah¬kan orang-orang tersebut kepada kami tanpa perlu ia menanya¬kan agama baru mereka, karena para pembesar kaum mereka lebih mengetahui keadaan dan keyakinan mereka.’

Para pendeta itu menjawab, ‘Ya.”’
Ummu Salamah berkata, “Ketika itu, tidak ada yang lebih di¬benci oleh Amr dan temannya melainkan raja Najasyi memanggil salah seorang dari kami dan mendengarkan perkataannya.”

Kemudian kedua utusan Quraisy itu menghadap Najasyi dan memberikan beberapa hadiah kepadanya. Sang raja begitu ter¬tarik dan sangat mengagumi hadiah-hadiah tersebut. Lalu, kedua utusan itu berkata, “Wahai Raja, sesungguhnya, beberapa orang jahat dari kaum kami telah tinggal di wilayah kerajaanmu. Mereka datang membawa agama yang tidak kami kenal, bahkan engkau juga tidak mengenalinya. Mereka meninggalkan agama kami, tetapi mereka juga tidak masuk agamamu. Dan sesungguhnya, para pembesar kaum mereka dari kalangan keluarga mereka, yaitu bapak-bapak dan paman-paman mereka telah mengutus kami kepadamu untuk bisa memulangkan kembali orang-orang ter¬sebut kepada keluarga mereka. Para pembesar itu adalah orang yang paling tahu tentang fitnah yang telah mereka buat.”

Najasyi menoleh ke arah para pendetanya. Kemudian para pendeta itu pun berkata, “Wahai Raja, kedua utusan itu memang benar. Sesungguhnya, kaum mereka lebih mengetahui keadaan mereka dan lebih mengetahui apa yang telah mereka lakukan. Kembalikanlah orang-orang tersebut kepada kaum mereka. Biarkanlah kaum mereka memutuskan perkara mereka.”

Mendengar perkataan para pendetanya itu, raja Najasyi sangat marah. Ia berkata, “Demi Allah, tidak! Aku tidak akan menyerah¬kan orang-orang itu kepada siapa pun sebelum aku memanggil mereka dan menanyakan hal-hal yang dikaitkan kepada mereka. Jika benar keadaan mereka seperti yang dikatakan oleh dua orang utusan ini, aku akan serahkan mereka kepada kedua orang ini. Dan jika keadaan mereka tidak seperti yang dikatakan, aku akan melindungi mereka dan aku akan bersikap baik kepada mereka selama mereka masih mau meminta perlindunganku.”

Ummu Salamah berkata, “Kemudian Najasyi mengutus se¬seorang untuk memanggil kami dan bertemu dengannya. Sebelum pergi menemui Najasyi, kami berkumpul terlebih dahulu. Sebagian dari kami berkata, ‘Sesungguhnya, Raja akan bertanya kepada kalian tentang agama kalian. Maka, bersikap tegaslah terhadap keyakinan kalian. Dan hendaknya yang berbicara mengenai kalian adalahJa’far bin Abu Thalib, tidak boleh ada yang berbicara selainnya.'”

Ummu Salamah berkata, “Kemudian kami pergi menemui Najasyi. Setibanya di sana, aku melihat para pendeta juga dipanggil oleh Najasyi. Mereka duduk di sebelah kanan dan kiri raja. Mereka me¬makai jubah resmi kependetaan, mengenakan peci di atas kepala mereka, dan membuka kitab-kitab suci di hadapan mereka. Kami juga melihat Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah berada di sisinya. Ketika kami sudah duduk, Najasyi menengok ke arah kami dan bertanya, ‘Agama apakah yang telah kalian buat ini yang dengan sebabnya kalian keluar dari agama kaum kalian tetapi tidak masuk ke dalam agamaku, bahkan agama-agama lainnya?’

Ja’far bin Abu Thalib maju dan berkata, ‘Wahai Raja, dulu kami adalah kaum yang dikenal sebagai orang-orang bodoh. Kami menyembah berhala, memakan bangkai, melakukan perbuatan keji, memutus tali silaturahmi, berbuat buruk terhadap tetangga, dan orang yang kuat di antara kami menindas yang lemah. Seperti itulah keadaan kami sampai akhirnya Allah mengutus kepada kami seorang Rasul yang kami ketahui nasabnya, kejujurannya, amanahnya, dan kesuciannya. Ia mengajak kami untuk mengesa¬kan Allah, menyembah-Nya, dan meninggalkan semua yang kami dan orang-orang tua kami biasa menyembahnya selain-Nya, yaitu berupa bebatuan dan berhala. Ia memerintahkan kami untuk ber¬bicara jujur, menunaikan amanah, bersilaturahmi, berbuat baik terhadap tetangga, menjauhkan diri dari segala perbuatan yang haram, dan tidak menumpahkan darah. Melarang kami berbuat keji, berbicara dusta, memakan harta anak yatim, dan memfitnah wanita-wanita.
Ia memerintahkan kami untuk menyembah hanya kepada Allah, tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun. Memerintah¬kan kami untuk mendirikan shalat, membayar zakat, dan berpuasa di bulan Ramadhan. Maka, kami membenarkannya, mengimani¬nya, dan mengikuti apa yang dibawa olehnya dari sisi Allah. Kami menghalalkan apa yang dihalalkan bagi kami dan mengharam¬kan apa yang diharamkan bagi kami. Wahai Raja, apa yang dilakukan oleh kaum kami tidak lain adalah mereka memusuhi kami dan menyiksa kami dengan siksaan yang berat agar kami tersiksa dengan agama kami, dan mereka bisa mengembalikan kami menyembah berhala. Ketika mereka berbuat zalim kepada kami, menyiksa kami, menjadikan kami dalam keadaan sulit, dan menghalangi kami untuk melakukan ajaran agama kami. Kami pergi ke negerimu. Kami memilihmu dari yang lainnya. Kami meng¬inginkan perlindunganmu dan kami berharap tidak ada di antara kami yang dizalimi ketika berada di sisimu.'”

Ummu Salamah berkata, “Najasyi menoleh ke arah Ja’far bin Abu Thalib. Ia berkata, ‘Adakah sesuatu yang dibawa oleh Nabi kalian yang datang dari Allah yang bisa kalian tunjukkan?’

Ja’far menjawab, ‘Ya.’

Kemudian Najasyi berkata, ‘Bacakanlah kepadaku!’ Maka Ja’far membaca, Surat Maryam: 1-4, yang artinya:

‘Kaaf Haa Yaa ‘Ain Shaad. (Yang dibacakan ini adalah) penjelasan tentang rahmat Tuhan kamu kepada hamba-Nya, Zakaria. Yaitu, tatkala ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut. Ia berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya, tulangku telah lemah dan kepalaku telah di¬tumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku. ‘”

Ummu Salamah berkata, “Mendengar firman Allah tersebut Najasyi menangis sehingga janggutnya basah oleh air mata. Para pendeta yang hadir juga menangis sehingga membasahi kitab-kitab mereka. Ketika itu, Najasyi berkata kepada kami, ‘Sesungguhnya, apa yang dibawa oleh Nabi kalian dan yang dibawa oleh Isa adalah berasal dari sumber yang sama.’ Kemudian, ia berpaling ke arah Amr dan seorang temannya seraya berkata, ‘Pergilah kalian berdua. Demi Allah, sekali-kali aku tidak akan menyerahkan mereka kepada kalian berdua!'”

Ummu Salamah berkata, “Ketika kami keluar dari sisi Najasyi, Amr bin Ash mengancam kami dengan berkata kepada teman¬nya, ‘Demi Allah, besok aku akan mendatangi Raja kembali. Aku akan menceritakan kepadanya ajaran mereka yang bisa membuat¬nya marah besar dan hatinya sakit penuh kebencian. Aku akan memprovokasi agar raja membinasakan mereka.’

Abdullah bin Abi Rabi’ah berkata, ‘Jangan engkau lakukan hal itu, wahai Amr. Mereka masih termasuk sanak saudara kita, sekalipun mereka bertentangan dengan kita.’

Amr berkata kepadanya, ‘Janganlah engkau pikirkan hal ini. Demi Allah, aku akan memberitahukan raja perkara yang akan mengguncangkan pijakan kaki mereka. Demi Allah, aku akan me¬ngatakan kepada raja bahwa mereka mengatakan bahwa lsa bin Maryam adalah seorang hamba.'”

Keesokan harinya Amr menemui Najasyi. Ia berkata, “Wahai Raja, sesungguhnya, orang-orang yang engkau beri perlindungan mengatakan suatu perkataan yang sangat menyakitkan tentang lsa bin Maryam. Panggillah mereka dan tanyakan kepada mereka tentang hal tersebut.”

Ummu Salamah berkata, “Ketika kami mengetahui hal itu, perasaan khawatir dan sedih yang belum pernah kami rasakan sebelumnya menimpa kami. Di antara kami ada yang bertanya, ‘Apa yang akan kita katakan tentang Isa bin Maryam jika nanti ditanya oleh raja?’

Kami semua menjawab, ‘Demi Allah, kita tidak akan mengata¬kan apa pun melainkan perkataan yang telah difirmankan oleh Allah. Dan kita tidak akan keluar seujung jari pun dari ajaran yang dibawa oleh Nabi kita. Biarlah sesuatu yang terjadi itu ter¬jadi karena perkataan kita ini.’ Kemudian, kami sepakat bahwa yang akan mewakili kita dalam mengatakan hal ini adalah juga Ja’far bin Abu Thalib.”

Ketika Najasyi memanggil kami dan kami masuk ke istananya, kami melihat para pendetanya berada pada posisi yang sama seperti yang kami lihat sebelumnya dengan seragam kebesaran mereka. Kami melihat juga Amr bin Ash berada di sisinya. Ketika kami sudah berada di hadapannya, ia langsung bertanya kepada kami, “Apa yang kalian katakan tentang Isa bin Maryam?”

Ja’far bin Abu Thalib menjawab, “Kami hanya mengatakan sesuatu yang dikatakan oleh Nabi kami Shalallahu ‘alaihi wasalam. ”

Najasyi berkata, “Apa yang dikatakan oleh Nabi kalian tentang Isa ?”

Ja’far menjawab, “Nabi kami berkata bahwa Isa adalah hamba Allah dan Rasul-Nya, Ruh-Nya, dan kalimat-Nya yang ditiup¬kan kepada Maryam, perawan suci.”

Mendengar jawaban Ja’far bin Abu Thalib, Najasyi langsung memukulkan tangannya ke bumi seraya berkata, “Demi Allah, Isa bin Maryam tidak keluar sehelai rambut pun dari apa yang dikatakan oleh Nabi kalian!”

Mendengar itu, para pendeta yang berada di sisi Najasyi saling berbisik sebagai tanda pengingkaran mereka terhadap pernyata¬an yang mereka dengar. Najasyi berkata, “Kenapa kalian berbisik?” Kemudian ia menoleh ke arah kami dan berkata, “Pergilah kalian! Kalian aman. Barangsiapa yang mencela kalian, maka dia akan menanggung rugi dan barangsiapa yang menyakiti kalian, maka dia akan diberi sanksi. Demi Allah, aku tidak senang memiliki emas segunung, jika salah seorang dari kalian tertimpa keburukan.”

Kemudian ia berpaling ke arah Amr bin Ash dan temannya seraya berkata, “Kembalikanlah kepada kedua orang ini hadiah-hadiah yang telah mereka berikan. Aku tidak membutuhkannya.”

Ummu Salamah berkata, “Maka keluarlah Amr dengan teman¬nya sebagai pecundang yang membawa kegagalan. Sedangkan kami, akhirnya, bisa hidup di negeri yang baik bersama seorang tetangga yang baik, Najasyi.”

Ja’far bin Abu Thalib dan istrinya menghabiskan masa hidup mereka di negeri Najasyi dalam keadaan tenang selama sepuluh tahun. Pada tahun ke-7 Hijriah mereka berdua bersama beberapa orang Islam meninggalkan negeri Habasyah menuju Yatsrib. Ketika mereka sampai di Yatsrib, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam baru kembali dari Khaibar, setelah Allah memberikan kemenangan atas wilayah tersebut. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam sangat bergembira bertemu dengan Ja’far sampai ia mengatakan, “Aku tidak tahu karena apa aku sangat gembira: apakah karena kemenangan atas wilayah Khaibar atau karena kedatangan Ja’far?”

Kegembiraan umat Islam khususnya orang-orang fakir atas kembalinya Ja’far tidak kalah hebatnya dengan kegembiraan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam, karena Ja’far dikenal sangat lemah lembut ter¬hadap orang-orang yang lemah dan banyak berbuat baik kepada mereka sehingga ia dijuluki sebagai “bapaknya orang-orang miskin.”

Abu Hurairah Rodhiallahu ‘anhu meriwayatkan, “Orang yang sangat baik kepada kami, para orang miskin, adalah Ja’far bin Abu Thalib. Pernah kami mendatangi rumahnya dan ia memberi kami makan¬an yang ada padanya. Bahkan, ketika makanannya habis, ia me¬ngeluarkan kaleng kecil yang biasa digunakan sebagai tempat minyak samin. Dalam kaleng itu tidak ada apa pun, maka kami membelahnya dan kami jilati sisa-sisa yang menempel di dalam¬nya.”

Tidak lama Ja’far bin Abu Thalib tinggal di Madinah. Di awal tahun ke-8 Hijriah, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam mempersiapkan pasukan untuk menaklukkan Romawi yang berkuasa di Negeri Syam dan menunjuk Zaid bin Haritsah sebagai panglima pasukan. Ia ber¬kata, “Jika Zaid terbunuh atau tertimpa musibah, maka yang menjadi panglima penggantinya adalah Jafar bin Abu Thalib. Jika Jafar ter¬bunuh atau tertimpa musibah, maka yang menjadi panglima peng-gantinya adalah Abdullah bin Rawahah. Jika Abdullah bin Rawahah terbunuh atau tertimpa musibah, maka umat Islam yang ikut berperang hendaknya memilih salah seorang dari mereka sebagai panglima.”

Ketika pasukan Islam sampai di daerah Mu’tah, yaitu sebuah kampung kecil di pinggiran Syam di wilayah Yordania, mereka mendapati Romawi telah menyiapkan seratus ribu tentara di tambah seratus ribu lagi dari kaum Nasrani Arab dari suku Lakhm, Judzam, Qudha’ah, dan lainnya. Sedangkan pasukan Islam hanya berjumlah tiga ribu tentara.

Ketika kedua pasukan sudah saling bertemu dan peperangan sudah berkecamuk, Zaid bin Haritsah menyambut kematian dengan berani. Ia terbunuh sebagai syahid. Ketika itu, Ja’far bin Abu Thalib langsung melompat dari punggung kudanya yang me¬miliki rambut berwarna merah kekuning-kuningan, lalu menusuk¬nya dengan pedangnya agar tidak ada musuh yang mengambil manfaatnya setelah itu. Ia membawa panji perang dan masuk ke jantung barisan Romawi sambil melantunkan syair,

“Duhai Surga yang begitu dekat
yang enak dan segar airnya
Romawi oh Romawi, sudah dekat siksanya
orang kafir yang tidak berguna nasabnya
apabila aku telah bertemu dengannya
maka hanya sabetan pedang yang menyambutnya”

Ia berputar-putar di tengah-tengah pasukan musuh sambil mengayunkan pedangnya. Sampai akhirnya, ia terkena sabetan pedang sehingga tangan kanannya putus. Kemudian ia pegang panji perang dengan tangan kirinya. Belum berapa lama, ia terkena lagi sabetan pedang dan tangan kirinya pun putus. Lalu, ia pegang panji perang dengan menggunakan dada dan kedua lengan¬nya. Sesaat kemudian, ia terkena sabetan yang ketiga yang mem¬belah tubuhnya. Setelah itu, panji perang langsung diambil oleh Abdullah bin Rawahah. Ia terus berperang sampai akhirnya ia menyusul kedua sahabatnya yang syahid terlebih dahulu.

Berita kematian tiga panglima pasukan Islam sampai kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam dan itu membuatnya sangat sedih dan merasa sangat menyakitkan. Rasulullah pergi menuju rumah Ja’far bin Abu Thalib anak pamannya. Ia bertemu istrinya Asma’ binti Umais yang sudah bersiap-siap menyambut kedatangan suaminya yang sedang pergi. Ia telah membuat makanan, memandikan anak-anak¬nya, memberikan wewangian kepada mereka, dan memakaikan pakaian mereka.

Asma’ berkata, “Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam menemui kami, aku melihat di wajahnya ada gambaran kesedihan yang mengotori wajahnya yang mulia. Karena itu, perasaan khawatir langsung meliputi hatiku. Aku tidak berani menanyakan keadaan Ja’far kepadanya, takut kalau seandainya aku mendengar sesuatu yang tidak aku inginkan. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam memberi salam dan berkata, ‘Panggilkan anak-anak Ja’far!’ Maka, aku langsung memanggil mereka. Setelah dipanggil, mereka langsung menuju ke arah Rasulullah dengan penuh gembira. Mereka saling berebut untuk bisa dekat dengannya.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam memeluk mereka dan menciumi mereka dengan air mata yang bercucuran dari kedua matanya. Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, demi ayah dan ibuku sebagai tebusan, gerangan apakah yang membuatmu menangis? Adakah berita tentang Ja’far dan kedua temannya yang engkau ketahui?’

Ia menjawab, ‘Ya, mereka semua telah mendapatkan kesyahidan hari ini …. ‘”
Ketika itu, hilanglah senyum dan kegembiraan dari wajah anak¬-anak Ja’far yang masih kecil setelah mereka mendengar ibu mereka menangis. Mereka terpaku seakan-akan di atas kepala mereka ada seekor burung.

Adapun Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam, ia terus pergi sambil mengusap air matanya seraya berdoa, “Ya Allah, berilah pengganti Ja’far bagi anak-anaknya. Ya Allah, berilah pengganti Ja’far bagi keluarganya.” Kemudian beliau berkata,
“Aku melihat Jafar berada di dalam surga. Dia memiliki dua sayap yang berlumuran darah dan bagian depannya juga tercelup darah.” (Hadits).

Catatan :
• Abdu Manaf adalah salah seorang dari kakek (moyang) Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam. Ia memiliki sepuluh keturunan yang merupakan kerabat dekat Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam .
• Khaibar adalah kawasan benteng-benteng Yahudi yang ditaklukkan oleh RasulullahShalallahu ‘alaihi wasalam. Pada tahun 7 H dan berhasil merampas kekayaan dalam jumlah yang sangat besar.
• Darul Arqam adalah sebuah rumah yang berada di kota Mekah dan disebut sebagai Darul Islam (rumah Islam). Rumah itu milik Arqam bin Abdu Manaf al-Makhzumi. Di rumah itu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam mengajak manusia untuk masuk Islam.
• Uqail bin Abu Thalib adalah kakak kandung Ali.

Sumber: Shuwar min Hayaati ash-Shahaabah

Tinggalkan komentar